by Grace Luminto
Hari ini di kantor saat menjelang makan siang, saya membawa bekalku menuju ruang makan. Sesampaiku di dapur, ternyata telah ada seorang kolega yang tengah menyiapkan roti sandwichnya. Dengan basa-basi ala karyawan, ia menanyakan lauk apa yang telah kubawa hari ini. Dia melongok sebentar dari rotinya dan melihat bekalku. Lalu dia berkata bahwa menjadi seorang vegetarian adalah hal yang sangat susah. Makanan santri dikabarkan kurang gizi dan tidak mengeyangkan. Aku tersenyum kecil dan dalam batinku, “Wah, kalau dia sampai bertemu dengan grup IVS di Indonesia, pasti ‘habis’ dia bila berargumentasi tentang nilai gizi vegetarian”.
Selanjutnya, sembari memamerkan sandwich ikan tuna makan siangnya, ia memegang sebuah garpu dan mencungkil-cungkil daging ikan tuna dalam kaleng. Sambil mengorek daging tuna, ia dengan bangga mengatakan bahwa walaupun ia penikmat ikan sejati namun masih memiliki “etika” untuk tidak menyantap ikan lumba dan segala produk dari sirip ikan hiu.
Mendengar peryataannya demikian, ditambah pemandangan daging sayatan ikan tuna yang dikorek dari kaleng, saya merasa iba. Iba melihat betapa banyak nyawa ikan tuna yang melayang sebelum menjadi sayatan dan disajikan dalam kaleng. Dan iba melihat sebagian manusia yang memuja pembunuhan dan bersuka cita di atas penderitaan mahluk lain.
Ditengah rasa kasihan, saya mendadak teringat seorang temanku di vihara yang pada pergantian tahun baru lalu, ia memberitahukan resolusinya untuk tahun ini. Ia berikrar di tahun ini dan tahun-tahun berikutnya, ia akan berusaha untuk menjadi seorang Duta Bahagia. Rupanya temanku ini terinspirasi oleh sebuah syair karya Ella Wheeler Wilcox berjudul “Suara Sang Bisu”, yang secara sederhana intinya sebagai berikut:
Aku adalah suara dari yang tidak bersuara
Melalui aku si bisu berbicara
Hingga telinga dunia yang tuli dibuat menyimak
Ketidakadilan si lemah yang tak mampu berucap kata
Sungguh memalukan bunda para manusia
Yang tak pernah mengajarkan untuk merendah diri
Dari kesedihan yang terpancar dari mata kasih sang bisu
Kepiluan tanpa kata-kata
Mulai dari jalanan, sampai kandang, hingga kurungan
Berawal dari rimba hingga kebun binatang
Teriakan siksaan saudaraku menyerukan dosa
Oleh yang berkuasa menindas yang lemah
Kekuatan yang sama menciptakan segala unggas
Yang juga menciptakan manusia, Sang Raja
Ke-esaan Tuhan menghembuskan nafas kehidupan
Kepada segala mahluk berbulu dan bersayap
Aku adalah pelindung saudaraku,
Dan aku akan berjuang untuknya,
Dan berucap kata bagi segala binatang dan unggas,
Hingga dunia memperlakukan segala mahluk secara adil.
Pada saat ini, microwave tiba-tiba berbunyi menandakan makan siangku telah siap dan tersaji panas. Kupandangi makan siangku yang sederhana dan mungkin nilai gizinya yang hanya pas-pasan. Namun aku bahagia karena di dalam piringku tidak ada darah, tidak ada tangisan, tidak ada siksaan dan tidak ada pembantaian. Inilah makanan yang patut disantap oleh seorang Duta Bahagia.
Hari ini di kantor saat menjelang makan siang, saya membawa bekalku menuju ruang makan. Sesampaiku di dapur, ternyata telah ada seorang kolega yang tengah menyiapkan roti sandwichnya. Dengan basa-basi ala karyawan, ia menanyakan lauk apa yang telah kubawa hari ini. Dia melongok sebentar dari rotinya dan melihat bekalku. Lalu dia berkata bahwa menjadi seorang vegetarian adalah hal yang sangat susah. Makanan santri dikabarkan kurang gizi dan tidak mengeyangkan. Aku tersenyum kecil dan dalam batinku, “Wah, kalau dia sampai bertemu dengan grup IVS di Indonesia, pasti ‘habis’ dia bila berargumentasi tentang nilai gizi vegetarian”.
Selanjutnya, sembari memamerkan sandwich ikan tuna makan siangnya, ia memegang sebuah garpu dan mencungkil-cungkil daging ikan tuna dalam kaleng. Sambil mengorek daging tuna, ia dengan bangga mengatakan bahwa walaupun ia penikmat ikan sejati namun masih memiliki “etika” untuk tidak menyantap ikan lumba dan segala produk dari sirip ikan hiu.
Mendengar peryataannya demikian, ditambah pemandangan daging sayatan ikan tuna yang dikorek dari kaleng, saya merasa iba. Iba melihat betapa banyak nyawa ikan tuna yang melayang sebelum menjadi sayatan dan disajikan dalam kaleng. Dan iba melihat sebagian manusia yang memuja pembunuhan dan bersuka cita di atas penderitaan mahluk lain.
Ditengah rasa kasihan, saya mendadak teringat seorang temanku di vihara yang pada pergantian tahun baru lalu, ia memberitahukan resolusinya untuk tahun ini. Ia berikrar di tahun ini dan tahun-tahun berikutnya, ia akan berusaha untuk menjadi seorang Duta Bahagia. Rupanya temanku ini terinspirasi oleh sebuah syair karya Ella Wheeler Wilcox berjudul “Suara Sang Bisu”, yang secara sederhana intinya sebagai berikut:
Aku adalah suara dari yang tidak bersuara
Melalui aku si bisu berbicara
Hingga telinga dunia yang tuli dibuat menyimak
Ketidakadilan si lemah yang tak mampu berucap kata
Sungguh memalukan bunda para manusia
Yang tak pernah mengajarkan untuk merendah diri
Dari kesedihan yang terpancar dari mata kasih sang bisu
Kepiluan tanpa kata-kata
Mulai dari jalanan, sampai kandang, hingga kurungan
Berawal dari rimba hingga kebun binatang
Teriakan siksaan saudaraku menyerukan dosa
Oleh yang berkuasa menindas yang lemah
Kekuatan yang sama menciptakan segala unggas
Yang juga menciptakan manusia, Sang Raja
Ke-esaan Tuhan menghembuskan nafas kehidupan
Kepada segala mahluk berbulu dan bersayap
Aku adalah pelindung saudaraku,
Dan aku akan berjuang untuknya,
Dan berucap kata bagi segala binatang dan unggas,
Hingga dunia memperlakukan segala mahluk secara adil.
Pada saat ini, microwave tiba-tiba berbunyi menandakan makan siangku telah siap dan tersaji panas. Kupandangi makan siangku yang sederhana dan mungkin nilai gizinya yang hanya pas-pasan. Namun aku bahagia karena di dalam piringku tidak ada darah, tidak ada tangisan, tidak ada siksaan dan tidak ada pembantaian. Inilah makanan yang patut disantap oleh seorang Duta Bahagia.
No comments:
Post a Comment